[ Minggu, 20 Juni 2010 ]
KIRGISTAN telah begitu lama melintasi garis sejarah penghuni bumi. Berabad-abad lampau, Kirgistan menjadi salah satu wilayah yang dilintasi para saudagar, musafir, hingga petualang saat mereka menyeberangi benua, menghubungkan Asia dan Eropa. Kirgistan yang dilintasi jalur sutera adalah penghubung dua peradaban, Timur dan Barat, pada zamannya.
Tapi, sejarah pula yang mencabik-cabik negara Asia Tengah yang dikepung daratan tersebut. Kirgistan tak lagi elok. Kota Osh di Lembah Fergana (Ferghana Valley), di ujung selatan negeri itu, tak lagi seindah kain sutera buatan tangan-tangan terampil penduduknya.
Osh menjadi kelam, hitam, dan berdarah-darah. Kerusuhan etnis yang pecah sejak Kamis (10/6) membuat wajah Osh bopeng. Serangan etnis Kirgis terhadap etnis Uzbek di Osh serta Provinsi Jalal-abad mengakibatkan hampir 200 jiwa melayang dan 1.800 orang luka-luka. Angka itu memang besar. Tapi, Presiden interim (sementara) Roza Otunbayeva berani membuat estimasi lain. Setelah berkunjung di kawasan yang dihajar kerusuhan itu, Otunbayeva mengatakan bahwa sekitar 2 ribu orang tewas. Masya Allah.
Negeri itu memang begitu mudah terbelah. Api kebencian dengan gampang berkobar. Tak sekadar lantaran masalah politik. Misalnya, setelah lengsernya Presiden Kurmanbek Bakiyev pada April. Persis dua dekade silam, pada Juni 1990, kerusuhan etnis sudah menggelegak. Juga di kota Osh. Ratusan orang terbunuh, ribuan luka, perempuan dirudapaksa, rumah-rumah menjadi abu.
Kala itu, perang yang melibatkan etnis terbesar di Kirgistan, yakni Kirgis dan Uzbek, dipicu soal pembagian hak tanah. Problem tanah itu berawal ketika Kirgistan masih dikuasai Uni Soviet. Saat Josef Stalin berkuasa, tanah di Lembah Fergana itu dibagi kepada tiga etnis, yakni Kirgis, Uzbek, dan Tajiks.
Dua puluh tahun lalu, kerusuhan bisa mandek saat tentara Soviet turun tangan. Tapi, kali ini siapa yang bisa menengahi?
Problem kali ini memang berbau politis. Etnis Uzbek, minoritas terbesar di Kirgistan, dinilai ingin menggunakan momen lengsernya Kurmanbek Bakiyev untuk merebut berbagai aset ekonomi, kekuasaan, dan tanah. Salah satu di antaranya, lewat referendum konstitusi pada 27 Juni dan pemilu parlemen pada Oktober. Referendum yang digagas pemerintah interim itu memang didukung etnis Uzbek. AS dan Uni Eropa juga mendesak pemerintahan interim tetap melakukan referendum dan pemilu sesuai dengan jadwal.
Banyak kalangan -termasuk pemerintahan interim- melihat bahwa kerusuhan etnis tersebut tidak spontan. Tapi, ada pihak ketiga yang merancang dan mengobarkan kerusuhan tersebut secara rapi. Pemerintah pun langsung tunjuk hidung. Keluarga mantan Presiden Bakiyev disebut mendanai kerusuhan.
Saat ini pemerintah Kirgistan tengah berusaha mendeportasi Maxim Bakiyev, putra Kurmanbek, yang ditahan Inggris karena diduga terlibat pencucian uang. ''Tidak ada lagi pembahasan tentang jaminan keamanan keluarga Bakiyev, kecuali untuk pengadilan mereka atas kejahatan kemanusiaan ini,'' tegas Otunbayeva pada 14 April, seperti dilansir BBC.
Dari tempat pengasingannya di Belarusia, Bakiyev membantah tuduhan pemerintah interim Kirgistan. Namun, sebelum dirinya dipaksa mundur, Bakiyev sempat mengancam bahwa kerusuhan politik akan semakin parah jika dirinya dipaksa mundur dengan kekerasan. Hal itulah yang membuat pemerintah langsung mengambinghitamkan keluarga Bakiyev.
Demi Legalkan Pemerintah
Referendum memang jalan terus, meski kerusuhan antaretnis belum sepenuhnya rampung. Padahal, penuntasan kerusuhan itu penting. Sebab, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah memperingatkan bahwa kerusuhan etnik yang memburuk itu bisa menjadi benih tumbuhnya gerakan gerilyawan.
''Kami akan mengadakan referendum dan memasuki pemerintahan yang legal. Kami membutuhkan itu seperti kami membutuhkan udara. Semua orang yang merasa warga Kirgis harus memberikan suara pada referendum nanti,'' ujar Azimbek Beknazarov, anggota pemerintah interim. Pemerintah pun menjamin, referendum akan berjalan transparan. Presiden Roza Otunbayeva menjanjikan bahwa 300 pengamat dari Organization for Security and Co-operation in Europe (OSCE) atau Organisasi Keamanan dan Kerja Sama di Eropa memonitor proses referendum. Referendum kali ini akan memutuskan bentuk pemerintahan baru yang diinginkan rakyat Kirgistan. Memang, muncul kekhawatiran bahwa referendum akan mengembalikan dominasi parlemen karena rakyat trauma di bawah kepemimpinan Kurmanbek Bakiyev yang otoriter.
Namun, Wakil Presiden sementara Omurbek Tekebayev menyatakan, referendum pada Juni tersebut akan menciptakan konstitusi baru yang menjamin terbentuknya republik baru untuk mereduksi kekuasaan presiden. Tujuannya, mencegah otoritarian.
Menurut dia, konstitusi baru itu akan meminimalkan dominasi parlemen dengan cara pembatasan jumlah kursi partai. Kursi itu dikurangi menjadi hanya 50 dari 90. Parlemen terdahulu dipimpin partai Presiden Kurmanbek Bakiyev, Ak-Zhol. Tekebayev juga mengumumkan pemilihan umum di Kirgistan dilangsungkan pada 10 Oktober.
Pada 1993 konstitusi menyatakan bahwa bentuk pemerintahan Kirgistan adalah republik demokratik. Cabang pemerintahan terdiri atas presiden dan perdana menteri. Sementara itu, parlemen menggunakan sistem unicameral (satu kamar). (cak/c4/c7/dos)
0 comments:
Post a Comment