[ Minggu, 20 Juni 2010 ]
Militer Kirgistan yang diterjunkan ke Kota Osh justru menjadi momok bagi warga di wilayah selatan negeri Asia Tengah itu. Bertugas menegakkan perdamaian pasca kerusuhan, pasukan berbaju doreng tersebut malah memantik kekacauan.
---
AVAZ tersenyum menyaksikan iring-iringan mobil pengangkut personel militer Kirgistan menuju Shai-Tubeh, wilayah kecil di Osh. Dia lega. Setelah beberapa hari dicekam rasa takut dan waswas, akhirnya pasukan keamanan yang dinanti-nanti tiba juga. Dia yakin, serdadu-serdadu Kirgistan itu bakal melindungi warga dan menciptakan kedamaian.
Tapi, betapa kecewanya dia saat pasukan penjaga perdamaian tersebut justru menebar teror dalam masyarakat. ''Kami yakin mereka datang untuk melindungi. Tapi, kami salah. Mereka justru dikirim untuk membunuh kami,'' kata Abdukadyrov dalam wawancara dengan The New York Times Rabu (16/6). Menurut pria 48 tahun itu, para serdadu berlompatan turun dari mobil yang mengangkut mereka dan langsung melepaskan tembakan ke rumah-rumah warga.
Sambil memuntahkan timah panas dari senapan otomatis, para personel militer Kirgistan itu mencemooh etnis Uzbek. ''Mereka meneriakkan slogan-slogan anti-Uzbek,'' ungkap Abdukadyrov.
Kesaksian yang sama diungkapkan belasan tetangga Abdukadyrov yang juga keturunan Uzbek. Mereka sangat takut. Apalagi, bentrok berdarah Kamis malam (10/6) mempertajam perselisihan etnis Uzbek dan Kirgis.
Selain memburu warga etnis Uzbek, serdadu Kirgistan dari kesatuan yang seharusnya netral itu membakar sejumlah gedung. Akibatnya, beberapa warga Shai-Tubeh tewas dan sejumlah besar lainnya terluka. ''Yang paling memilukan hati, saat kami berusaha keras melarikan diri dari kebakaran, para serdadu berseragam tersebut tertawa-tawa dan menari-nari di jalan,'' ujar Abdukadyrov dengan suara bergetar.
Ironisnya, bukan hanya Shai-Tubeh yang menjadi saksi kebrutalan militer Kirgistan. Rabu (16/6), sebuah masjid di perbatasan Uzbekistan yang menjadi tempat mengungsi warga etnis Uzbek juga menjadi sasaran amuk militer. Di beberapa wilayah lain di Osh, warga juga melaporkan aksi nekat militer Kirgistan. Bahkan, bukan hanya senapan otomatis yang menjadi senjata, tapi juga kendaraan lapis baja.
''Khawatir menjadi sasaran berikutnya, warga di sekitar tempat tinggal saya memblokade jalan raya yang menjadi akses utama menuju wilayah kami,'' kata Halisa Abdurazakova, salah seorang dokter yang ditugaskan di tempat pengungsian.
Sayangnya, lanjut perempuan 37 tahun itu, blokade yang disusun dari batu-batu besar tersebut hancur setelah ditabrak tank militer. Akibatnya, wilayah tempat tinggal Abdurazakova pun tidak lepas dari kebrutalan militer Kirgistan.
Insiden di Shai-Tubeh dan wilayah sekitarnya itu membuat masyarakat internasional mempertanyakan sifat bentrok antaretnis yang bukan baru kali ini pecah di Kirgistan. Yakni, apakah bentrok yang merenggut nyawa sedikitnya 191 orang itu spontan atau sudah direncanakan. Nama presiden terguling, Kurmanbek Bakiyev, pun sempat muncul sebagai tersangka dalang kerusuhan.
Yang pasti, kembali pecahnya konflik antaretnis di Kirgistan membuktikan bahwa pemerintahan sementara yang dipimpin Roza Otunbayeva tidak sepenuhnya berkuasa. Apalagi, sebelum bentrok pekan lalu, pemerintahan sementara yang terbentuk April lalu dan didukung penuh Rusia tersebut juga kecolongan konflik antaretnis pada Mei lalu. (hep/c5/dos)
0 comments:
Post a Comment