''Dikotomi yang secara saklek antara kiri dan kanan terjadi dalam Pemilu 1955,'' kata Burhan -sapaan Burhanuddin Muhtadi- di Jakarta kemarin (22/6).
Dalam periode itu, setiap parpol peserta pemilu memiliki garis pemilih yang sangat tegas. PKI abangan, PNI bagi kaum nasionalis, dan Parkindo untuk pemilih Kristen. Begitu juga halnya dengan Partai Masyumi dan Partai NU.
Ketika Soeharto berkuasa, tepatnya pada 1973, realitas politik itu dicoba untuk dieliminasi dengan melakukan fusi atau penggabungan parpol-parpol. Hasilnya adalah tiga kekuatan politik, yakni Golkar, PDI, dan PPP. Golkar yang diharapkan mendukung Soeharto sekaligus muncul untuk menghancurkan dikotomi kiri dan kanan.
''Selama Orba (Orde Baru), Golkar mengambil segmen pemilih kiri dan kanan. Belakangan ini disebut partai tengah,'' kata alumnus Australian University itu.
Dia menyebutkan, dalam Pemilu 1955, bila orang semakin rajin salat dan puasa, pilihannya pasti partai Islam. Karena itu, pada era Orba, meskipun masyarakat semakin saleh, pilihan partai tidak hanya ke partai Islam. ''Bisa juga ke partai nasionalis,'' tegasnya.
Saat Pemilu 1999, dikotomi kiri versus kanan semakin luruh dan kabur. Pada i saat yang sama, partai nasionalis tidak ingin disebut partai kiri. Berbagai langkah dilakukan untuk menghapus stigma itu. PDIP membentuk Baitul Muslimin (Bamusi), Golkar punya pengajian Al-Hidayah, bahkan Demokrat memiliki Majelis Zikir Nurul Salam.
Semua parpol yang nasionalis, kata Burhan, juga ingin disebut religius (Islam). Begitu juga sebaliknya, partai-partai beraliran religius selalu menegaskan mereka juga nasionalis dan siap mengawal NKRI. ''Ini bisa dimaklumi,'' kata Burhan.
Sebab, bila dilihat kurvanya, ceruk pemilih di posisi ekstrem kiri dan kanan semakin kecil. ''Meski begitu, pada tingkat pilihan publik, masyarakat sebenarnya masih bisa mendeteksi juga,'' katanya.
Bila dikategorikan dari yang paling kiri sampai yang paling kanan, Burhan menyebutkan urutannya adalah PDIP, Gerindra, Hanura, Golkar, Demokrat, PKB, PAN, PPP, dan ujung paling kanan PKS. Dia memang hanya mengategorikan sembilan parpol yang kini menghuni Senayan.
Lantas, mengapa PKS masih digolongkan paling kanan setelah mendeklarasikan diri sebagai partai tengah? ''PKS sulit menafikan kenyataan, hadirnya partai ini untuk mengakomodasi politik Islam. Retorika menjadi partai tengah itu bisa dibantah. Representasi pengurus nonmuslim tidak ada. Pengurus perempuan yang tidak berjilbab juga tidak ada. Kalau benar-benar terbuka, berani nggak (mengakomodasi itu, Red),'' kata Burhan.
Burhan menyampaikan, semua partai sekarang memang cenderung mencoba bergerak ke tengah. Mereka menjadi pragmatis untuk memperbesar potensi electoral dengan memperbanyak segmen pemilih.
Secara terpisah, peneliti senior Soegeng Sarjadi Syndicate, Dr Sukardi Rinakit, juga menilai realitas partai saat ini memang cenderung ke tengah. Fenomena yang dilakukan PKS adalah demi meraih suara tambahan sebagai partai tengah. ''Secara ideologi dan program, image terlalu Islam saat ini tidak terlalu populer.'' (pri/c4/bay/tof)
0 comments:
Post a Comment