Pages

Powered by Blogger.
 
Sunday, November 21, 2010

Dilema Kepala Daerah, Antara Diskresi dan Korupsi


Jumlah kepala daerah yang kini menghadapi proses hukum dugaan korupsi mencapai 150 orang. Bagaimana itu bisa terjadi dan apa dampaknya terhadap pemerintahan di daerah? Berikut pemaparan Peneliti The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP) Dadan S. Suharmawijaya.

---

BANYAKNYA kepala daerah yang tersangkut kasus dugaan korupsi merupakan suatu keprihatinan. Betapa korupsi masih marak di negeri ini. Di sisi lain, hal tersebut akan berdampak negatif terhadap jalannya pemerintahan di daerah. Sebab, para kepala daerah itu lebih disibukkan menghadapi kasus hukum daripada menjalankan tugasnya untuk melayani masyarakat dan memimpin roda pemerintahan di daerah.

Berdasar data yang dirilis Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM Jogjakarta, selama triwulan pertama 2010, kepala daerah dan mantan kepala daerah ditempatkan pada posisi teratas sebagai pelaku korupsi paling dominan. Urutan berikutnya adalah direktur perseroan terbatas dan pejabat birokrasi daerah. Data itu berbeda dari tren korupsi pada 2009 yang dominasi teratas dipegang anggota DPRD. Pengungkapan sejumlah kasus dugaan korupsi tersebut menunjukkan bobroknya kualitas dan kapasitas pengelolaan keuangan negara.

Kalau melihat jadwal, saat ini seharusnya BPK sedang mengaudit hasil perhitungan APBD 2009 untuk seluruh pemerintah daerah. Padahal, 150 kepala daerah dan birokrat daerah yang berurusan dengan hukum saat ini tersandung pengelolaan APBD di bawah tahun 2008. Bisa jadi, dalam beberapa kurun waktu ke depan, masih akan banyak kepala daerah yang berurusan dengan kasus hukum karena penyebab yang sama.

Dalam hal ini, ada keprihatinan lain yang perlu dicermati. Sebab, bisa jadi sebagian kasus bukan merupakan penyalahgunaan kewenangan yang disengaja. Tapi, ada yang merupakan kekeliruan menafsirkan aturan atau tindakan yang merupakan diskresi kepala daerah dalam mengatasi permasalahan tertentu.

Diskresi seharusnya merupakan keleluasaan kepala daerah untuk mengeluarkan kebijakan, inisiatif, serta inovasi atau terobosan atas sesuatu yang tidak tegas dan terperinci aturannya demi kepentingan publik. Di sinilah makna kehadiran seorang pemimpin yang memang bukan robot yang tidak memiliki kebijaksanaan. Diskresi bukan sesuatu yang boleh dipidanakan, tapi sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan.

Persoalannya, diskresi sering menjadi sesuatu yang diinterpretasikan secara bias. Sering bergantung persepsi pihak tertentu. Biasanya lawan politik atau penegak hukum yang punya motif pribadi. Akibatnya, banyak kepala daerah yang tidak berani mengambil inisiatif atau terobosan karena takut dipidanakan.

Sikap seperti itu terbukti menghambat kemajuan daerah. Berdasar temuan JPIP di daerah, banyak pejabat publik yang mengaku tidak berani berinovasi karena seringnya menghadapi ''jajaran samping'' yang mengancam memidanakan.

Diskresi jelas berbeda dari korupsi yang memang diniatkan dan sengaja dilakukan. Modus baru korupsi, antara lain, menahan setoran pajak ke pusat dengan menyimpan di rekening pribadi kepala daerah maupun modus pinjaman kas daerah untuk investasi pribadi. Ditambah, kongkalikong markup dan cash back dari rekanan proyek.

Perilaku seperti itu jelas merupakan korupsi yang harus diberantas dan diproses hukum. Sama halnya dengan penggunaan keuangan negara untuk kepentingan pribadi dan orang dekat lainnya.

JPIP sejak lama menyadari hal tersebut. Bahkan, dua tahun silam, JPIP memfasilitasi acara yang menyandingkan petinggi KPK, BPK, BPKP, Kejaksaan Agung, dan Mabes Polri untuk mendengar keluhan krimininalisasi pejabat daerah atas kekeliruan kesalahan administratif yang dipidanakan. Keluhan lain adalah perbedaan penafsiran antara eksekutif daerah, auditor, maupun aparat hukum.

Contohnya, semua bupati/wali kota di Kalimantan Tengah yang berjumlah 14 orang dinilai telah melanggar hukum karena pengembangan wilayah terkait pemanfaatan hutan tanpa persetujuan menteri kehutanan sesuai UU No 41/1999 tentang Kehutanan. Berarti, semua bupati/wali kota di Kalteng tidak bisa menjalankan fungsi pemerintahannya secara optimal.

Hal tersebut tidak bisa dilihat sebagai permasalahan personal pejabat semata. Tapi, harus dilihat sebagai persoalan sistem koordinasi pemerintahan antardaerah dengan kementerian pada era otonomi daerah yang belum tertata. Banyak penataan sistem pemerintahan yang belum tuntas. Di sisi lain, penegakan hukum harus segera dilakukan.

Contoh lain, ketidakjelasan aturan pengalokasian dana Bank Pembangunan Daerah bagi pejabat eksekutif yang sempat muncul ke permukaan. Akibatnya, bisa jadi ada sebagian pejabat yang dituduh berkorupsi yang tidak benar-benar melakukan korupsi.

Tampaknya, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menyadari situasi semacam itu. Prof Mardiasmo selaku kepala BPKP yang baru ingin melakukan tindakan preventif agar tidak ada lagi kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Sebab, jika banyak daerah yang tidak berani membuat kebijakan karena takut terjerat korupsi, pembangunan di daerah akan terus bertiarap dan anggaran negara tidak terserap.

BPKP menawarkan bantuan bagi daerah yang ragu-ragu untuk membuat kebijakan. Selain itu, BPKP ingin mengefektifkan penerapan SPIP (sistem pengendalian intern pemerintah) yang diatur PP No 60/2008. (e-mail: dadan@jpip.or.id/c5/agm/tof)

0 comments:

Post a Comment

Updates Via E-Mail

Labels