JAKARTA - Opsi membeli 58,9 persen saham kepemilikan Jepang di tubuh PT PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) dinilai sebagian kalangan cukup berat. Selain harus menutup dana akuisisi sebesar USD 762 juta, Inalum juga membutuhkan dana investasi sebesar USD 4 miliar untuk memenuhi target dua kali lipat kapasitas produksi.
Ketua Otoritas Asahan Effendi Sirait mengatakan, nilai investasi Inalum saat ini yang mampu menghasilkan 250 ribu ton aluminium adalah USD 2 miliar per tahun. Jika kapasitas ditingkatkan dua kali lipat untuk mencapai target pemenuhan kebutuhan dalam negeri, maka dana investasi yang dibutuhkan sebesar USD 4 miliar. "Itu juga permasalahan Inalum. Sepertinya kita masih butuh kerja sama dengan pihak lain untuk mendapatkan dana investasi," ujarnya saat seminar di gedung DPR, kemarin.
Saat ini, kapasitas produksi Inalum memang mencapai 250 ribu ton aluminium per tahun. Namun dari jumlah tersebut, 60 persennya adalah untuk ekspor sesuai kesepakatan dengan Nippon Asahan Aluminium (NAA) yang memiliki mayoritas saham sebesar 58,9 persen. Kondisi itulah yang menyebabkan banyak pihak ingin agar Inalum dikuasai sepenuhnya oleh Indonesia setelah kontrak kerja sama pertama berakhir pada 2013.
Menurut Effendi, Inalum bisa membeli 58,9 persen saham milik NAA yang mewakili pemerintah Jepang untuk mengakhiri kerja sama sejak 1978. Dana yang dibutuhkan untuk mengambil alih saham tersebut senilai USD 762 juta. Dasarnya adalah perhitungan 58,9 persen dikalikan aset Inalum sebesar USD 1,27 miliar pada 2013 atau pada saat kontrak dengan NAA berakhir. Jumlah aset tersebut terdiri atas PLTA USD 268 juta, smelter USD 143 juta, inventori USD 148 juta, dan aset-aset lainnya USD 65 juta.
Pada 2013, Inalum diperkirakan memiliki uang kas sebesar USD 628 juta, sehingga butuh dana tambahan USD 134 juta untuk membayar saham milik NAA. "Tetapi, sampai saat ini masih dalam bahasan pemerintah apakah Inalum akan dikuasai 100 persen oleh Indonesia atau tetap harus bekerja sama dengan pihak lain," katanya.
Sementara itu, Ekonom International Center for Applied Finance and Economics Institut Pertanian Bogor (IPB) Iman Sugema mengatakan, sejak Inalum beroperasi secara komersial sekitar 30 tahun lalu, perusahaan Penanam Modal Asing tersebut mendapatkan subsidi listrik pemerintah sekitar Rp 1.000 per kwh.
Padahal, harga listrik dari pembangkit dari PLTA Asahan hanya Rp 100 - Rp 200 per kwh. "Jika ditotal, kebutuhan listrik untuk Inalum mencapai 420 megawatt per jam. Subsidi yang dikucurkan pemerintah mencapai Rp 3,4 triliun per tahun atau sebesar Rp 102 triliun selama 30 tahun. Kenyataannya, Inalum pada 2003 justru rugi USD 1,225 miliar," kata Imam. (gen/fat)
0 comments:
Post a Comment